The Happinest & The Sadness
Bulan sabit terlihat
indah seperti biasa. Suara angin yang terdengar merdu telah melambaikan rambut panjang seorang gadis yang sedang berdiri di sebuah
bangunan kosong yang gelap. Dari kejauhan ada seseorang yang memperhatikannya,
tetapi gadis itu tidak tau. Sang gadis berdengung menyanyikan lagu kesukaannya,
“Que Sera Sera”. Lagu yang sudah amat lama itu di ingat jelas sekali oleh sang
gadis. Entah apa yang membuatnya menyukai lagu itu. Tiba – tiba sang gadis
mengeluarkan air matanya, seseorang yang melihatnya dari kejauhan terkejut tapi
ia masih bersembunyi.
“Sampai jumpa, duniaku”
Sang gadis membiarkan
tubuhnya terjatuh bebas, di saat yang bersamaan orang yang memperhatikan gadis
itu dari kejauhan mulai berlari, loncat dan menggapai sang gadis.
***
Terasa kembali angin
yang sangat sejuk. Perlahan – lahan angin itu membuat sang gadis terbangun dari
lelapnya. Ia melihat sekeliling, jendela, kasur, meja, hordeng, dan bunga.
Semua yang ia lihat berwarna putih bersih, butuh waktu sedikit lama untuk
menyadari bahwa ia sedang berada di dalam rumah sakit. Sang gadis mengeratkan
kedua tangannya seraya memegang selimut kasurnya.
“Kenapa aku masih hidup
?”
Ia merasa kesal, benci,
dan amarahnya keluar. Rasa sakit yang ada di kepalanya mulai terasa sehingga
membuatnya tidak berdaya. Rasanya benar – benar tidak enak, pasti, pasti ada
yang telah menggagalkan rencananya. Ia tau siapa, ia tau siapa yang
menolongnya, tidak lain dan tidak bukan pasti dia. Dia adalah laki –
laki yang sang gadis benci seumur hidup bahkan sampai mati maupun sudah
memasuki dunia neraka atapun surga.
“Anda sudah sadar ?”
Tak lama setelah sang
gadis memikirkan laki – laki itu, ia pun datang sambil membawa semangkuk bubur,
berbagai macam obat dan juga air putih. Sang gadis menatapnya tidak percaya, ia
berpikir lebih baik sekarang ia meracuni dirinya sendiri dari pada bertemu
lelaki ini.
“Speranza”
Nama sang gadis yang
akhirnya kita ketahui ‘Speranza’ telah menoleh ke arah asal suara. Tatapannya
sinis, marah, kesal yang ia rasakan begitu mendengar namanya di sebut olehnya.
“Pergi kau, Vuoto”
Lelaki bernama ‘Vuoto’
itu terkejut karena namanya telah di sebutkan oleh gadis idamannya. Senyum pun
tersimpul, ia mendekat ke arah Speranza langkah demi langkah. Speranza merasa
takut tetapi yang ia rasakan sampai sekarang adalah dendam murninya pada Vuoto.
Dendam yang tidak akan pernah pudar dengan mudah. Vuoto meletakkan apa yang
tadi ia bawa ke atas meja yang berada di samping Speranza. Tak lama ia duduk di
kursi yang ada di samping Speranza sambil terus menatapnya. Matanya tak lepas
dari Speranza dan Speranza pun juga begitu, ia menatap Vuoto, tatapan yang
penuh kebencian.
“Saya tegaskan satu
hal”
Vuoto mengeluarkan
selembar kertas yang berada dalam tas kecil yang selalu ia kenakan selama 5
tahun penuh. Tas itu ia kenakan hanya untuk menyimpan kertas selembaran yang
tak ada arti dan tak ada guna bagi Speranza.
“Aku menolak !! Aku
tidak mau !!! Aku tidak setuju !!!! Dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah
mau !!!!!” Speranza berteriak sambil merobek dan membuang kertas itu keluar
jendela
Vuoto tidak berekspresi
sama sekali, ia mengeluarkan kembali kertas yang sama. Ternyata ia menyimpan
cadangan yang sangat banyak. Speranza tidak sanggup, ia pun mengeluarkan air
mata berharap suatu saat nanti, suatu hari nanti akan ada yang menolongnya dan
melepaskan siksaan yang selalu menghantuinya ini.
***
Setelah 2 minggu berada
di rumah sakit, Speranza menghirup udara dari dunia yang ia benci ini. Sebenarnya
ia tidak akan membenci dunia ini, hanya saja Vuoto berada di dalamnya maka ia
pun akan membencinya. Di mana pun itu, jika ada Vuoto maka Speranza akan
membencinya, apapun itu. Speranza berjalan entah kemana, di belakangnya Vuoto
mengikuti.
*FLASH BACK*
Vuoto merupakan laki –
laki yang sangat dekat dengan Speranza, dulu sekali Speranza sangat menyayangi
Vuoto layaknya saudaranya sendiri. Waktu itu Speranza berumur 13 tahun, dia
merupakan gadis yang lugu dan memiliki karakter yang ada pada gadis kebanyakan.
Lalu Vuoto berumur 15 tahun, ia selalu menemani Speranza kemana pun gadis itu
pergi. Vuoto tinggal dalam keluarga Speranza karena ayahnya Speranza bertemu
dengan Vuoto yang sedang terjebak dalam aksi perkelahian antar daerah
kekuasaan.
Zaman dahulu, berkelahi
merupakan hal yang wajar. Kekuasaan, uang, martabat, semua hal seperti itu
harus di miliki setiap orang jika ingin bertahan hidup. Jika tidak mereka akan
di telantarkan dan hanya akan mati dalam kesengsaraan yang fatal. Tidak dapat
merasakan kebahagiaan dan hanya bisa mengemis di mana pun tempat itu. Ayah
Speranza merasa bahwa Vuoto dapat melindungi putri kesayangannya jika sesuatu
menimpa dirinya.
Tak lama, Vuoto resmi
menjadi pelindung Speranza. Speranza senang sekali menerima anggota baru di
keluarganya itu. Di bandingkan pelindung ia lebih beranggapan bahwa Vuoto
adalah kakak laki – lakinya. Speranza sangat menyayanginya, Vuoto pun demikian
bedanya lelaki itu menyayanginya lebih istimewa dan lebih ke arah yang
berbahaya. Mengenai ibunya Speranza, ibunya telah meninggal begitu
melahirkannya. Speranza merasa sedih tetapi ia masih harus melanjutkan hidup
demi ibunya.
Setelah Speranza
berumur 15 tahun, ayahnya meninggal dunia karena penyakit yang tidak bisa di
sembuhkan. Jujur, Speranza menangis sangat kencang sekali, ayah yang sangat ia
sayangi meninggal di saat Speranza hanya menjadi seorang gadis remaja yang
belum tau seperti apa kejamnya dunia luar. Karena selama ini ia selalu di
lindungi atas perintah ayahnya. Speranza tidak memiliki kerabat maupun saudara
lain, ia merasa goyah dan tambah tidak kuat begitu mengetahui bahwa ia tak
sanggup membayar dana rumah, tempat tinggalnya.
Dengan berat hati
Speranza keluar dari rumahnya itu, badannya begitu merinding dan ketakutan, ia
tidak tau lagi harus bagaimana. Kehidupan nya hancur dengan mudah setelah
tiadanya sang ayah. Tapi, ia ingat Vuoto bersama dengannya, selalu. Ketika
Speranza telah menemukan rumah baru yang kumuh dan kotor ia sadar bahwa Vuoto
jarang sekali terlihat di dalam rumah. Sudah sekitar 2 bulan semenjak kejadian
jatuhnya keluarga Speranza. Speranza khawatir dan dia berfikir bahwa ada yang
tidak beres. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi mencari keberadaan Vuoto.
Ia mencari dari satu
tempat ke tempat yang lain. Hasilnya nihil, ia tak mendapatkan petunjuk sama
sekali. Sampai suatu ketika ia bertemu dengan lelaki paruh baya yang sedang
membawa kapak.
“Sedang mencari siapa
gadis kecil ?”
“Apa… kau kenal orang
ini ?” Speranza memperlihatkan gambar Vuoto
“Tentu saja, dia berada
di sana” sambil menunjuk ke arah puncak gunung
“Te..terima kasih”
Speranza melanjutkan
langkah nya itu sambil berharap Vuoto ada di sana. Sejujurnya ia juga ketakutan
karena baru setengah jalan saja tempat nya lumayan gelap. Padahal hari masih
siang dan panas, ternyata hutan di gunung itu lebat juga. Tapi, Speranza tidak
berhenti dan terus melangkah.
BRAKK
Speranza terjatuh oleh
akar pohon yang tebal membuat lutut kakinya terluka dan mengeluarkan sedikit
darah. Ugh, Speranza tetap berjalan menahan sakit yang ia rasakan demi Vuoto
(Author : Kau baik sekali nakk). Sesampainya di puncak, Speranza melihat suatu
bangunan yang terlihat seperti benteng pertahanan. Di depan pintu gerbang
terlihat dua orang prajurit yang perutnya telah di lukai oleh benda yang tajam.
Darah berlumuran di mana – mana, Speranza merasa syok, ia takut, ya, takut
sekali, kakinya gemetar, bibirnya membiru, matanya terbelalak, tangannya
perlahan membuka pintu dengan pelan.
KREKK
Suara pintu yang di
buka terdengar dan suaranya di pantulkan kembali dalam ruangan itu. Speranza
berjalan, ruangan itu gelap gulita, untungnya Speranza membawa obor yang ada di
pintu gerbang utama.
“Vu…o..to…..kau…dimana…?”
Suara Speranza gemetar,
ia melihat ada cahaya dari kejauhan. Speranza terlihat senang tapi ia juga
harus waspada, bagaimana jika itu adalah musuh ? pikirnya. Satu.. dua… lima..
langkah ia mendengar suara yang tidak asing.
“Vuo- !”
Belum selesai ia
mengucapkan nama “Vuoto” gadis itu menyaksikan suatu tragedy yang sangat besar.
Ia melihat seorang pria telah kehilangan lengan kirinya mati terpuruk, ia juga
melihat seseorang mati dengan kapak yang menancap di leher, lalu terakhir ia
melihat Vuoto sedang membidik senjatanya ke arah orang yang mungkin akan
menjadi korban selanjutnya.
“…k-kami juga tidak
tau. Itu perintah ! Kami harus meracuni tuan Jet’dai !”
‘Jet’dai’ merupakan
nama ayah dari Speranza. Nama yang sangat di hormati oleh banyak sekali rakyat
jelata. Speranza sangat yakin bahwa ayahnya meninggal karena penyakit yang
tidak bisa di sembuhkan. Tetapi, mendengar kata racun ia menjadi tidak yakin.
“Ohh… Jadi hanya karena
‘perintah’ kalian harus melakukannya ?” mata Vuoto terlihat kosong, ia siap
menembak kapan saja
“Tunggu !! Tunggu !!!
Itu perin-“
DORR
Satu tembakan telah
melukai kaki kiri pria tersebut, Speranza hampir saja berteriak dengan kencang,
kedua tangannya kini sedang menutup erat mulutnya.
“Ya, saya tau itu
perintah. Maka saya akan membunuh anda berdasarkan ‘perintah’ juga”
DORR DORR DORR DORR
Tembakan kedua mengenai
kaki kanan, tembakan ketiga dan ke empat mengenai tangan kiri dan kanan sang
pria. Pria tersebut memohon ampun tetapi Vuoto tak mendengarkan.
“Selanjutnya… Bagian
mana ya… Apakah anda ingin saya menembak tepat di usus anda ? Lambung ? Jantung
? Atau… Anda ingin saya melubangi tempurung kepala anda ?” Vuoto berkata sambil
tersenyum yang sangat menyeramkan
“Tidak…. Ku
mohon..Henti-“
DORR
Tembakan terakhir tepat
melubangi kepala sang pria.
BRUKK
Suara tubuh yang
terjatuh itu terdengar, Speranza semakin ketakutan, takut yang sangat dahsyat.
Dia harus pergi dari tempat itu, SEGERA ! Tapi, kakinya tak mampu mendukung
tubuhnya untuk berdiri. Tangannya juga tidak dapat di gerakan, bagaimana ini ?
bagaimana ini ??
“Spe..ranza..?”
“AH!”
Speranza takut, ia
sangat takut, mendengar suara itu ia pun berlari kencang mencoba untuk keluar
dari benteng secepat mungkin. Begitu ia berhasil keluar ternyata ia tidak dapat
lolos, Vuoto berlari jauh lebih kencang dan berhasil menangkap Speranza. Vuoto
merasakannya, tubuh Speranza gemetar hebat sekali, nafasnya tak teratur,
tubuhnya kian mendingin.
“Apakah anda melihat
semuanya ?”
Speranza hanya terdiam,
berharap kejadian itu semuanya hanyalah mimpi. Ia tak sanggup hidup seperti
ini. Ia tak sanggup melakukannya, ia tau kalau kenyataannya ayahnya terbunuh
dengan racun tapi, Speranza tidak pernah berikir akan balas dendam dan
pembunuhan seperti itu. Itu sangat berat baginya, ia hanya merasa sedih dan
sangat kesepian.
“Kenapa….Kenapa kau
melakukan itu…?” suaranya kembali gemetar
“Karena mereka lah yang
mengacaukan hidup kita”
“Kau salah… Kau
salah... Aku tidak mau seperti ini”
Speranza menebas
genggaman Vuoto dan berlari sejauh mungkin. Bangunan nya bagaikan lorong yang
dalam, belok ke kiri, kiri, kanan, kiri, kanan. Begitu terlihat pintu keluar
Speranza berlari lebih kencang lagi, akhirnya dia keluar dari bangunan yang
terkutuk itu. Sayangnya begitu ia ingin turun dari gunung tersebut Speranza
melangkah di jalan yang salah, ia terjatuh ke dalam lubang yang begitu dalam.
***
*FLASHBACK OFF*
“Apa rencana anda hari
ini, Speranza ?”
Vuoto meletakkan
secangkir teh latte di depan meja
tempat Speranza duduk. Speranza mengerutkan keningnya, kesal, ia tidak mau
melihat pria ini lebih lama lagi. Tapi, Speranza juga tidak berani meninggalkan
Vuoto sendiri, karena hal berbahaya pasti akan di lakukannya. Yah, Speranza pun
juga pasti akan melakukan hal gila. Ingat kejadian terjun bebas yang di lakukan
Speranza beberapa hari yang lalu ?
“……”
Tak menghiraukan
perkataan Vuoto, Speranza berdiri dan melangkah menuju suatu tempat. Vuoto
mengikuti dari belakang, gadis ini tau kalau Vuoto akan mengikuti kemana pun
Speranza pergi layaknya hewan peliharaan. Speranza sudah tidak mau menggubris
masalah itu. Karena Speranza sendiri merasa ia memerlukan Vuoto untuk
melindunginya. Walaupun di lindungi dengan cara yang salah.
Ternyata Speranza
mendatangi tempat yang dulu di kenalnya sebagai ‘rumah’. Tempat itu kini telah
menjadi lahan yang kosong untuk di jadikan sebagai pabrik perabotan rumah. Di
dalam dada Speranza terdapat rasa yang sangat menyesakan, kenangan – kenangan
tentang keluarganya kembali seketika. Rasa pedih itu terasa kembali, sehingga
membuatnya menitikan air mata, satu tetes air mata berhasil jatuh dari mata
kanannya. Bagaimana tidak ? Bukankah mengingat kenangan keluarga yang telah
tiada itu sangat menyakitkan ?
“Ayah…”
Ucapan pertama yang di
katakan Speranza bergitu ia menghapus air matanya. Ia tau kalau ayahnya tidak
akan bisa kembali ke bumi ini lagi, bahkan ke dunia ini. Ayahnya telah berada
entah dimana, yang Speranza tau tempat itu adalah Surga, tempat dimana orang
yang meninggal beristirahat dengan tenang. Tapi, ia tau kalau ayahnya itu pasti
merasa tenang karena tidak perlu mengkhawatirkan tentang kejamnya dunia ini.
Ah, mengingat tentang hal itu Speranza mulai menatap Vuoto yang tengah
mengikutinya dari tadi.
“Kau itu tidak perlu
mengikutiku” kesal Speranza
“Itu sudah kewajiban
saya untuk mengikuti anda kemana pun anda pergi”
Lagi – lagi sikap ke
“pelayanan” nya muncul lagi. Padahal Speranza sama sekali tidak suka sikapnya
yang seperti itu. Speranza juga sangat membenci cowok yang satu ini. Karena
cowok ini sudah terlalu banyak membunuh orang – orang yang ada hubungannya dengan
kematian ayah Speranza. Speranza tau, dia juga sebenarnya menyimpan dendam,
bedanya ia tidak pernah mau berpikiran akan dendam untuk membunuh. Tidak sama
sekali.
Setelah menghela nafas
Speranza melanjutkan langkah nya ke suatu tempat. Entah ia mau kemana satu hal
yang pasti ia ingin berjalan sejauh mungkin sampai Vuoto tidak mengikutinya.
Speranza tau hal itu akan sangat lah sia – sia. Mengetahui kalau tipe Vuoto
merupakan orang yang keras kepala pastilah dia tidak akan berhenti mengikuti
Speranza. Hal itulah yang membuat Speranza menjadi tidak bisa berbuat apa –
apa. Walaupun sekarang ia sudah berumur 22 tahun.
Speranza sibuk
memikirkan sesuatu yang ada dalam pikiranya, begitu ia sadar ternyata Vuoto tidak
ada bersama dengannya. Sungguh suatu kebetulan yang luar biasa. Speranza pun
berlari sejauh mungkin, gadis yang beranjak dewasa ini tidak memperdulikan
tempat tinggalnya yang kumuh itu. Pokoknya ia berpikir harus pergi sejauh
mungkin. Sungguh, rasa benci Speranza terhadap Vuoto sangatlah tinggi.
***
“Haahh…Haaahh….” Speranza
mulai lelah karena terus menerus berjalan
Speranza tidak tau ia
berada di mana sekarang, ia hanya melihat tanah yang gersang di sebelah kanan
dan kirinya. Ia berpikir sepertinya ia berada di padang pasir (author : bukan
padang pasir oi). Speranza menyerah untuk melangkah lagi, ia terduduk di tengah
– tengah jalan, berharap Vuoto datang menolongnya. Tunggu. Speranza tidak
berniat berpikir seperti itu. Kedua tangannya menepuk pipinya agar membuatnya
semangat kembali.
“Tidak… Tidak… Tidak…
Pokoknya aku harus berusaha sendiri. Aku akan menemukan cara agar tidak bersama
dengan lelaki penyakitan itu”
Sambil berkata seperti
itu tiba – tiba
“Apa yang kau maksud
dengan ‘lelaki penyakitan’ ?”
“HUWA !”
Speranza terkejut
mendengar perkataan itu, ia berpikir pasti itu adalah Vuoto. Ternyata dugaannya
salah. Ia melihat seorang lelaki dengan tubuh yang bisa di bilang tidak terlalu
tinggi tetapi masih lebih tinggi dia daripada Speranza, ia menampakan wajah polos
yang di penuhi dengan kalimat tanya begitu melihat Speranza terduduk di tengah
– tengah jalan. Awalnya Speranza merasa terpaku memandang lelaki itu dan mulai
merasa malu. Pasti ia berpikir kalau Speranza seperti orang gila (author : yang
sabar yak).
“Maaf, apa aku
mengagetkanmu ?” lelaki itu bertanya sambil mengulurkan tangannya
“Ah ! Enggak kok !
Enggak !” Speranza berdiri tanpa menerima ulurannya menahan malu
“Bagus lah, jadi … apa
yang kau lakukan di tengah – tengah jalan seperti itu ?”
“Oh… Itu… Aku tersesat,
seperti nya aku … Mungkin telah berjalan lebih dari 2 atau 3 jam”
“Benarkah ? Itu hebat !
Di tambah lagi kau jalan sendirian”
“Aha..ha… Begitulah”
Speranza menutupi kenyataan kalau dia sedang menjauhi Vuoto
“Ngomong – ngomong
rumahku tidak jauh dari sini. Apa kau ingin mampir ?” ajaknya
“Terima kasih banyak !
Itu sangat membantuku sekali” Speranza tampak senang
Mereka berdua pun
berjalan bersama, Speranza merasa terlalu senang dan berpikir ia menyukai
lelaki ini.
“Namaku Speranza, kalau
kau ?”
Terdiam sejenak, lelaki
itu seperti sedang berpikir. Tak lama akhirnya ia mebuka mulutnya.
“O-oh, namaku ? Namaku
Ardo” jawabnya
“Ardo ? Hm… Salam
kenal, Ardo” Speranza tersenyum sembari senang mendapat teman baru
“Ya, salam kenal, Speranza”
Ardo pun membalas senyumnya
Betapa senangnya
Speranza melihat Ardo tersenyum. Entahlah, mungkin ia akan mengalami perasaan
baru.
***
“Ahhh… Aku
terselamatkan” lega Speranza selesai meminum secangkir teh yang di sediakan
oleh Ardo
“Haha.. Ternyata kau
benar – benar tidak tau jalan ya ?” Ardo tertawa
“Iya, mungkin aku
tersesat” jawab Speranza sambil menjulurkan lidahnya
“Kenapa kau sampai
harus berjalan sejauh itu ?” Ardo bertanya
“………ung.. karena aku
ingin berpetualang !” bohongnya
“Ternyata begitu, kau
hebat” Ardo memuji
“Ah, tidak juga”
Speranza tersipu malu
Sambil berbincang –
bincang tak terasa hari sudah malam. Speranza merasa tidak tau harus kemana
lagi karena dia memang tidak tau apa – apa tentang dunia luar. Begitulah gadis bangsawan
ini menghabiskan waktu hanya berada di dalam rumah dan sekitarnya.
“Kau mau menginap di
sini ?” Ardo menawarkan
“B-bolehkah ?”
“Tentu saja, di daerah
sini kalau perempuan berjalan sendirian di malam hari pasti mereka akan di
culik, di jual ke tempat yang jauh” Ardo menjelaskan
“Kejamnya…”
“Yah, itulah kehidupan”
“Oh ! Terima kasih
telah mengizinkanku tinggal di rumah mu”
“Tidak apa – apa”
Di malam itu juga
Speranza berada di kamar yang lumayan luas. Di dalam kamar itu terdapat tempat
tidur, lemari yang besar, berbagai macam bunga yang tergantung, jendela, meja
dan kursi. Semua tertata rapih dan enak di pandang, apalagi cahaya rembulan
yang masuk lewat jendela.
“Selamat malam” ucap
Ardo
“Selamat malam, Ardo”
BLAM
Pintu kamar telah
tertutup, Speranza sendirian di dalam kamar itu. Uwah, entah mengapa rasanya
seperti di rumahnya yang dulu. Bedanya dalam kamar ini banyak sekali bunganya.
Speranza menggeletakan tubuhnya di atas kasur yang empuk itu. Ia tersenyum –
senyum sendiri karena rasa senangnya yang sangat besar. Ia tidak menyangka akan
ditolong oleh seorang lelaki yang baik seperti Ardo ini. Speranza tidak merasa
perlu untuk waspada, di mata Ardo tidak terlihat akan adanya perlakuan jahat
padanya. Tapi siapa sangka ?
***
Ke esokan harinya, Ardo
telah berdiri di ruang makan. Menyiapkan sepotong roti dengan selai coklat di
dalamnya. Begitu Speranza melangkah mendekat, mata Ardo langsung melirik ke arah
Speranza dan tersenyum.
“Selamat pagi”
“P-pagi”
Bagi Speranza sudah
lama sekali ia tidak di sapa ‘selamat pagi’ seperti itu. Karena semenjak
keluarga nya kacau balau ia jadi suka berpindah – pindah ke penginapan lain.
Tanpa perlu menyapa orang lain.
“Ayo duduk, makanlah
roti ini” Ardo menyodorkan sepotong roti untuk Speranza
“Terima..kasih..”
Speranza tertunduk malu
“Sebelum itu, ada yang
sedang menunggu mu tuh di luar” ucap Ardo
“Menunggu ku ?”
Speranza kebingungan
Setelah Speranza
melangkah keluar terlihat Vuoto sedang memainkan pisau yang selalu ia bawa.
Tidak. Pikir Speranza. Ia tidak pernah berharap untuk melihat orang itu lagi.
Dia tidak ingin melihat seseorang yang telah merusak hari damainya. Dengan kata
lain ia ingin cowok itu lenyap dan tak pernah kembali lagi. Sampai kapanpun.
“Apa yang kau lakukan
di sini ?” Speranza merasa kesal
“Tentu saja menjemput
Anda” jawab Vuoto cepat
“Aku tidak mau, lagi
pula yang menentukan kehidupanku adalah aku sendiri !” bentak Speranza
“Sudah..Tak perlu
meributkannya di pagi yang cerah ini. Bagaimana kalau kita sarapan terlebih
dahulu” Ardo tiba – tiba muncul
Speranza hanya terdiam
dan menuruti perkataan Ardo, di sisi lain Vuoto merasa kesal karena dirinya di
atur oleh laki – laki yang sudah merebut Speranza darinya. Pisau pun di
keluarkan dari saku Vuoto, Speranza pun mengetahui hal itu.
“A-apa yang kau lakukan
?!! Apa kau gila ?” Speranza membentak setengah berbisik ke arah Vuoto
“Saya tidak suka dengan
lelaki itu” jawab Vuoto spontan
“Jika kau melakukan
sesuatu padanya, maka aku akan membencimu sampai mati” ancam Speranza
Vuoto pun tercengang
dan segera ia kembalikan pisau itu ke dalam saku. Speranza menatap nya tajam,
karena Speranza telah di tolong oleh Ardo makanya ia tidak suka jika ada hal
yang terjadi pada lelaki yang menyelamatkannya itu. Speranza sudah tidak
perduli lagi dengan Vuoto. Dia menganggap Vuoto tidak ada, dan akan terus
seperti itu sampai Vuoto pergi jauh – jauh dari kehidupannya. Hanya saja
sayangnya hal tersebut tidak memungkinkan.
Mereka berdua masuk
kedalam rumah Ardo, ia telah menyiapkan sarapan berupa sup krim dan juga buah –
buahan. Speranza yang sejak tadi merasa lapar karena marah terus kepada Vuoto,
bergegas menuju tempat duduk sambil menunggu yang lain ikut makan.
“Sup krim !!” senang
Speranza
“Silahkan duduk, Vuoto”
tawar Ardo
Dalam hati yang paling
dalam Vuoto benar – benar membenci sekali pria ini. Ia terus menahan rasa itu
karena ia berada di dekat gadis yang sangat ia sayangi. Wajah serius Vuoto pun
memudar dan ia ikut duduk dan makan bersama. Lelaki ini hanya memikirkan gadis
yang sedang makan di sampingnya. Wajah dengan ukiran senyum yang manis,
Speranza. Vuoto merasa nyaman di dekat gadis itu. Ya, rasanya jauh lebih baik
dari pada melakukan tindakan dosa yang ia perbuat dulu.
“Lezat sekali, kau
memang pintar sekali memasak Ardo”
Baru saja Vuoto
berpikir menyenangkan tentang Speranza, tetapi begitu ia mendengar sang gadis
berkata seperti itu keningnya kembali mengerut merasa tidak adil. Ia merasa bahwa
Vuoto dapat memasak jauh lebih baik dari pria itu.
“Haha, tidak tidak..
Itu tidak benar. Aku sudah biasa hidup sendiri semenjak ibuku meninggal” Ardo
berbalas
Speranza menunduk
merasa tidak enak terhadap Ardo.
“Kenapa kau murung
begitu ? Manusia pun pasti akan meninggal suatu saat nanti, berlaku padaku
juga” Ardo tersenyum samar
“A-…A !!” Speranza
berteriak
“Ada apa ?” Vuoto
khawatir
“A-ardo, bagaimana
kalau kau mengajak ku jalan – jalan ? Bukankah kau bilang waktu itu kau bisa
menemaniku melihat – lihat daerah sekitar sini ?” Speranza menjelaskan
“Yah, aku tidak
keberatan” sambung Ardo
“Kh !!” Vuoto merasa
kesal
Speranza merasa senang,
tetapi di saat yang sama ia juga merasa sedih. Ia berpikir ternyata Ardo juga
tinggal sendirian tanpa adanya orang tua yang menemani. Gadis ini berpikir
bahwa mereka memiliki kemiripan, kemiripan yang menyedihkan dan menyakitkan
sehingga membuat keduanya tinggal sendirian. Tapi, Speranza memiliki Vuoto di
sisinya. Ah, tidak, gadis ini tidak berpikir bahwa Vuoto merupakan salah satu
keluarganya melainkan orang asing.
Setelah mereka
menyiapkan peralatan yang ingin di bawa, mereka pun langsung berjalan
meninggalkan rumah Ardo yang sudah di kunci rapih. Dalam perjalanan sambil
berjalan kaki lagi – lagi Speranza melihat Vuoto memainkan pisau nya. Langkah
Speranza pun memelan dan tepat berada di samping Vuoto sekarang.
“Ada apa ?” Vuoto
bertanya sambil tersenyum
“Jika kau berani
melukainya… Kau tau kan apa akibatnya ?” Speranza menatap sinis
“Ya, tenang saja” Vuoto
semakin tersenyum lebar
Speranza menghembuskan
nafas kecil. Apapun yang terjadi jangan sampai Vuoto melakukan sesuatu pada
Ardo, lelaki yang telah menyelamatkannya itu.
Tak lama suatu desa
kecil terlihat, nama desa itu adalah Mese. Mungkin karena bisa melihat bulan
dengan jelas jadinya tempat itu di namakan ‘Mese’. Mese merupakan desa yang
kecil walaupun begitu halaman nya termasuk luas. Warga yang ada di dalamnya pun
ramah atau mungkin tidak, karena Speranza hanya tau tempat itu sewaktu ia masih
kecil, bersama dengan ayah yang ia sayangi, dulu.
“Whoaahh… Besarr !!
Ramai !!” Speranza takjub
“Haha” Ardo tertawa
“Ardo ! Ardo !! Ayo
kita ke sana !!!” Speranza mulai ke asikkan
“Baik.. baik..” Ardo
mengikuti
Vuoto hanya
memperhatikan mereka berdua dari kejauhan. Ia merasa sakit sekali melihat
Speranza bersama dengan Ardo. Walaupun begitu sumpah yang pernah ia katakan
kepada ayah Speranza agar tidak lepas dari gadis itu, tidak akan pernah pudar.
Oleh karena itu Vuoto selalu dan selalu mengawasinya meskipun sang gadis tidak
sadar sedikit pun.
Terlihat ada balon
warna – warni banyak sekali, Speranza melihat ada warna balon berwarna hitam.
Ia pun tertarik dan ingin membeli balon itu, tetapi
“Jangan !” mendadak
Vuoto menarik tangan Speranza
“?! Apa yang kau
lakukan ?” Speranza kesal
DUAKK
Balon tersebut pun
pecah dan mereka berdua terkejut mendengar ledakan yang kecil itu. Karena
mereka di sangka yang telah meledakannya maka mereka harus membayarnya. Untung
ada Ardo, dia bersedia membayar balon hitam yang sudah pecah itu.
“Kau tidak apa – apa
Speranza ?” Ardo bertanya
“Tidak apa…” raut wajah
Speranza senang kembali
Entah apa yang membuat
Vuoto lancang menarik tangan Speranza. Tetapi gadis ini tau bahwa balon
tersebut ada kaitannya dengan apa yang terjadi sewaktu Speranza masih kecil.
Kenangan bersama dengan ayahnya yang tiada. Itulah kenapa Vuoto lancang
melakukannya.
“Aku mau ke sana !”
Speranza menunjuk ke arah tempat yang banyak orang berjualan makanan
“Oke oke” Ardo pun
mengikuti
Vuoto memperhatikan, ia
erat memegang bajunya, dadanya sakit, berharap bahwa ini semua hanya mimpi.
Sayangnya ini adalah dunia nyata dan juga bagi gadis yang ia sukai itu, Ardo
merupakan lelaki pertama yang ia sukai, menurut pandangan Vuoto. Entah apa yang
membuat Vuoto berpikiran seperti itu. Pokoknya Vuoto ingin sekali kembali ke
masa – masa di mana ia hanya berdua saja dengan Speranza. Bersama.
Malangnya Vuoto, sejak
2 jam yang sudah ia lewatkan, ia sendirian, duduk, dan hanya memperhatikan.
Speranza sedang tertawa bersama dengan Ardo. Vuoto hanya memperhatikan dan
akhirnya sudah tidak sanggup, ia pun melangkah mendekati Speranza.
“Hey, bolehkah saya
ikutan ?” Vuoto ragu mengatakannya
“Tentu saja” Ardo
menjawab
Jujur saja, Vuoto
merasa jengkel mendengar bahwa kalimat itu di ucapkan oleh orang yang ia benci,
bukan gadis yang ia sukai. Di sisi lain Speranza malah merasa jengkel dengan
Vuoto yang tiba – tiba datang dan ingin ikut bergabung.
“Ardo ! Aku…Aku…TERIMA
KASIH BANYAK !” Speranza berucap sambil sedikit membungkukan kepala
“Untuk apa ?” Ardo
terbingung
“Padahal kita baru
beberapa hari bertemu.. Tetapi, kau sudah banyak sekali membantuku. Memberiku
banyak sekali berbagai macam kesenangan.”
“Haha, tidak apa..
Hidup itu hanya sekali… Kau harus bisa merasakan berbagai macam kebahagiaan”
Ardo mulai menutup kedua matanya seakan mengingat suatu kejadian
“Ardo, kau tak apa ?”
Speranza terlihat khawatir
“Tenang saja… Aku tidak
apa – apa” Ardo mulai membuka matanya dan melangkah pergi
Hari yang tadinya cerah
telah di datangi oleh air yang turun dari langit, membuat mereka bertiga
terjebak dalam tetesan air hujan yang semakin lama semakin deras. Speranza
merasa gugup karena ia merasa ada kata – kata yang salah dalam berbicara kepada
Ardo barusan. Vuoto melihat gerak – gerik Speranza, ia tau bahwa gadis ini
merasa gelisah dan ia tau kalau gadis ini ingin meminta maaf jika ia telah
melakukan hal kesalahan pada lelaki itu.
“Speranza…” suara Ardo
tiba – tiba terdengar setelah senyap sesaat
“Y-ya ?”
“Maaf dan juga terima
kasih, aku harus pergi” ucap Ardo
“Ah ! Ardo !!”
Ardo pun langsung
berlari di hantam oleh derasnya hujan yang kian membesar. Speranza hanya bisa
mengambangkan tangannya untuk meraih Ardo. Sayangnya tangan tersebut hanya
menggapai udara dan tak bisa menyentuh orang yang di tuju. Akhirnya ia pun
menggenggam tangannya dan menaruhnya tepat di dadanya. Semua akan baik – baik
saja pikirnya. Speranza bersiap berlari mengejar Ardo, tetapi tubuhnya di tarik
oleh Vuoto.
“Apa yang kau lakukan
?”
“Saya mohon, jangan
mengikutinya”
“Kenapa ?? Ini tidak
ada hubungannya dengan mu!”
“Saya tidak ingin anda
menderita lagi…Saya tidak ingin anda mengetahui kebenarannya…” suara Vuoto kian
berbisik
Speranza mendengar
ucapan lelaki itu, tetapi ia tidak mengerti apa maksud di balik perkataannya.
Seketika tubuh Vuoto mulai gemetar dan ia pun jatuh pingsan di tempat dan
membuat Speranza berteriak memanggil namanya.
Tak lama Speranza
berhasil membawa Vuoto ke dalam penginapan terdekat. Untung saja ada orang yang
membantunya mengangkat tubuh Vuoto. Bagaimana pun juga Speranza adalah anak
perempuan, wajar jika tubuhnya tidak bisa mengangkut Vuoto.
Speranza merasa
khawatir terhadap Vuoto. Wajahnya kian memerah dan terus memerah Speranza
berfikir bahwa Vuoto telah terkena demam tinggi. Bagaimana ini ? Speranza baru
pertama kali melihat Vuoto sakit seperti ini, biasanya lelaki ini selalu kuat
dan tangguh bahkan sangat jarang sekali mendapat penyakit, sangat jarang.
“Dasar… Vuoto bodoh…”
gumam Speranza sambil mengelus pipi Vuoto yang merah
“….terima kasih atas
pujian anda” suara kecil Vuoto terdengar
“Vuoto ! Kau sudah
bangun ?”
“Ya… Maaf saya telah
membuat anda khawatir” sesal Vuoto
“….kalau memang kau
beranggapan seperti itu. Jangan sakit.” Kesal Speranza
“Ya, saya sungguh minta
maaf”
“Tunggu sebentar, aku
akan membuatkan bubur”
Speranza pun bersiap
bangun dari tempatnya duduk tapi Vuoto menahannya dengan menarik tangan kanan
nya. Vuoto memberikan Speranza sebuah senyuman petanda jangan tinggalkan Vuoto
sendiri. Speranza tau akan hal itu, ia pun menghela nafas kecil dan kembali
duduk. Tangan kanan nya masih di genggam oleh Vuoto. Speranza tidak berkutik
karena kondisi Vuoto saat ini sangat lemah.
“Kau harus tidur”
singkat Speranza
“Baik”
Vuoto menutup matanya kembali,
lelaki ini benar – benar lemah sekali ketika sedang sakit. Tubuhnya sangat
relaks sekali, mungkinkah itu karena Speranza berada di sisinya ? Atau karena
Ardo tidak bersama dengan mereka ? Speranza mulai kelelahan dan akhirnya
tertidur di pinggir tempat tidur Ardo.
***
Ke esokkan harinya
Speranza terbangun oleh suara berisik seperti ada seseorang yang sedang memasak
sesuatu. Wangi nya pun tercium sangat lezat tubuhnya otomatis mendekati asal
suara dan wangi itu. Tak lama terlihat sosok tak asing, Vuoto sedang memasak
sambil mengayunkan wajan nya ke atas dan ke bawah. Mata Speranza membulat
bagaimana bisa lelaki ini sembuh total hanya dalam waktu 7 jam ?? Padahal
semalam demamnya tinggi sekali.
“Apa yang kau lakukan ?
Kau seharusnya beristirahat”
“Mm.. Selamat pagi,
saya sedang menyiapkan sarapan”
“Tidak ! Tidak boleh !
Kau belum sembuh total”
“Tenang saja, saya
sudah sembuh” Vuoto memamerkan senyum nya yang paling manis
Speranza terdiam dan
berjalan duduk di kursi meja makan. Vuoto tetap tersenyum lalu melanjutkan
memasak. Beberapa menit kemudian sarapan telah siap di hidangkan membuat
Speranza berbinar karena semalam ia belum makan malam.
“Silahkan” Vuoto
tersenyum lagi
“Kau juga ikut makan”
Speranza menarik Vuoto sehingga ia duduk di kursi tepat di hadapan Speranza
“Tetapi saya-“ tiba –
tiba mulut Vuoto ke masukan daging yang telah di potong Speranza tadi
“Enak bukan ? Aku..
tidak ingin sendirian lagi. Jadi kau temani aku makan” Speranza tersenyum tipis
“……baik”
Mereka berdua kembali
makan bersama – sama. Setelah bertahun – tahun mengalami berbagai macam cobaan.
Baru kali ini mereka berdua bisa makan bersama kembali. Masa – masa dulu dimana
Speranza ingin meninggalkan dunia ini perlahan – lahan telah menghilang.
Mungkin perempuan ini sudah bisa berpikir jernih ke depannya dan merasa yakin
akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
“Kenapa kau bisa mudah
sekali terserang penyakit ? Padahal hanya terkena air hujan” Speranza mulai
berbicara
“Saya juga tidak tau,
biasanya saya terbiasa dengan air hujan” Vuoto menjelaskan
“Aneh sekali”
Selesai sarapan pagi
mereka berdua bersiap melanjutkan perjalanan. Bukan melanjutkan perjalanan sih,
tepatnya mereka ingin mencari di mana keberadaan Ardo. Mengapa ia meninggalkan
mereka berdua, Speranza ingin mengetahuinya. Vuoto sudah melarang Speranza
untuk menemui Ardo lagi, tetapi Speranza tidak mau, pada saat Speranza
menanyakan alasan mengapa ia tidak boleh bertemu dengan Ardo lagi, Vuoto hanya
bisa terdiam saja. Vuoto akhirnya mengalah dan mengikuti Speranza.
Mereka berdua sampai
tepat di depan rumah Ardo. Sayangnya rumahnya terkunci dengan rapat dan tidak
ada tanda – tanda kehadiran seseorang di dalam rumah itu. Speranza tidak mau
menyerah dan memutuskan untuk mendobrak pintu itu. Hebatnya pintu itu terbuka
dengan lebar hanya dengan sekali dobrak. Padahal Vuoto belum membantu mendobrak
pintu itu. Tetapi nampaknya Speranza seorang diri pun dapat membukanya.
Tak ada. Tak ada siapa
pun. Tak ada seorang pun di dalam. Speranza melihat suatu benda yang tertutup
kain, padahal waktu ia datang ke rumah ini benda itu tidak ada. Ketika Speranza
membuka kain itu, terlihat sebuah lukisan seseorang yang sangat dekat
dengannya.
“Ayah…” Speranza
bergumam
Mata Vuoto terbelalak
lalu membuang muka tanpa berkata apa – apa.
“Apa maksudnya ini ?
Apakah… Ardo mengenal ayahku ?” Speranza terbingung
Vuoto mengepalkan kedua
tangannya.
“Mungkinkah… Mungkinkah
Ardo tau siapa pelaku yang telah membunuh ayah ? Kalau begitu aku harus
menemukannya”
Speranza berlari
meninggalkan rumah itu sebelum Vuoto sempat berkata apa – apa.
“…gawat…” gumam Vuoto
dan berlari mengejar Speranza
Speranza berlari menuju
tempat di mana ia bermain dengan Ardo dan Vuoto. Tempat itu ramai sekali bahkan
untuk mencari seseorang pun mungkin tak dapat terlihat. Banyak sekali orang
berjalan di sekitarnya. Tapi gadis ini tidak menyerah dan terus mencoba mencari
orang yang ia tuju.
Di sisi lain Vuoto
kebingungan mencari dimana kah Speranza berada. Padahal ia baru saja merasa
bisa akrab kembali dengan perempuan kesayangannya itu. Kenapa selalu saja ada
saat di mana ia merasa bahagia lalu hilang begitu saja.
“…Ardo !” sekejap mata
Speranza menemukan orang yang ia cari
Sayangnya orang itu
tidak mendengar teriakan Speranza dan terus berjalan menjauh.
“Tunggu..!...ugh.. Ardo
!!” Speranza mulai terseret oleh ramainya tempat itu
Tak lama Speranza
berhasil lolos dari keramaian, ia kembali mencari Ardo yang telah berjalan ke
arah tepat di depan matanya. Terlihat sebuah laut yang sangat luas sekali.
Sesaat Speranza terpukau oleh keindahan laut tersebut. Ia menggelengkan kepala
dan kembali mencari Ardo secepat mungkin. Ia telah mencari di sekitar laut
tersebut bahkan ia berani bertanya terhadap orang yang belum ia kenal
sebelumnya. Sayang sekali tak ada seorang pun yang tau Ardo setelah Speranza
menjelaskan secara rinci.
Saat Speranza mulai
menyerah dan berjalan di pinggir pantai ia melihat jejak kaki seseorang.
Setelah ia mendongak ke atas sosok Ardo pun terlihat.
“Ardo- !”
“Jangan mendekat” ucap
Ardo sambil menodongkan sebuah pistol di hadapan Speranza
“Ada apa denganmu Ardo
? Kau jadi aneh seperti itu” Speranza kebingungan
Ardo hanya terdiam
tetapi ia masih mengarahkan pistol itu kepada Speranza
“Ardo… Aku hanya ingin
menanyakan sesuatu. Apakah kau mengenal ayahku Ardo ?” Speranza mulai gugup
“…..ya, aku
mengenalnya” ucap dingin Ardo
“Jadi kau benar – benar
mengetahuinya” Speranza terkejut “lalu… apakah kau tau siapa yang telah
membunuh ayahku ? Ku dengar… Ayahku telah meminum racun sehingga ia tidak dapat
di sembuhkan”
“….tu……..ku….”
“Huh ? Apa yang kau
katakana Ardo ?”
“Itu aku” Ardo
menegaskan
“Apa maksudmu ?”
“Akulah yang memberinya
racun”
Suara angin terdengar
begitu pula dengan ombak laut yang telah menghantam batu karang. Speranza masih
tidak ingin percaya dengan apa yang ia dengar dan berharap bahwa ia salah
dengar.
“Kau….. Bohong bukan ?”
Speranza bergetar
“Beberapa tahun yang
lalu. Kedua orang tuaku jatuh bangkrut atas usaha mereka. Padahal mereka tidak
pernah salah perkiraan dalam bisnis. Tetapi, ayahmu… Ayahmu lah yang telah
merusaknya. Ayahmu telah membuat kehidupan keluargaku putus. Ayahmu membuat
usaha keluargaku bangkrut total. Ia telah merusaknya. Sehingga, mereka berdua
memutuskan untuk bercerai. Aku memutuskan untuk bersama dengan ibuku, tapi tak
lama ia meninggal karena kurang beristirahat dan selalu bekerja. Hanya karena
keluargamu adalah anggota bangsawan kalian bisa berbuat seenaknya pada rakyat
jelata. Menyedihkan sekali”
Ardo menarik pelatuk
pistolnya dan siap menembak kapanpun.
“Aku…aku tidak tau sama
sekali… Aku tidak tau hal seperti itu…Aku tidak tau….” Speranza ketakutan ia
tidak menyangka ayahnya dapat berbuat seperti itu
“Di saat pertama kali
kita bertemu aku tidak tau bahwa kau anak dari pria itu. Entah takdir atau
nasib yang telah mempertemukan kita. Tak lama aku mengetahuinya, kau adalah
anak dari pria itu. Padahal, aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepada anak
yang telah merusak hubungan keluargaku” jari telunjuk Ardo bersiap untuk
menembak Speranza
“Tidak….aku…..aku tidak
tau……” Speranza menangis
Tak lama suara tembakan
terdengar Speranza pun menutup kedua matanya. Aneh. Rasanya tidak sakit, ia
tidak merasakan apa – apa. Ia membuka kembali kedua matanya dan melihat Vuoto
telah memeluknya. Tangan Vuoto berdarah hasil dari tembakan Ardo tadi.
“Vuoto !”
“Anda tidak apa – apa
?” Vuoto bertanya sambil menahan sakit
“Aku.. Tidak apa – apa.
Tanganmu berdarah ! Kita harus cepat – cepat menutup lukanya”
“Aku tidak apa – apa…
Yang lebih penting. Anda baik – baik saja”
“….Ada pengganggu
rupanya” Ardo menarik pelatuknya lagi
“Hentikan !” Speranza
melindungi Vuoto yang telah terluka
“Bahaya..! Anda tidak
perlu melindu-“
“AKU TIDAK MAU !”
Speranza berteriak kencang sekali
Air mata pun menetes
dengan derasnya.
“Kenapa…Kenapa hidupku
selalu seperti ini…” air mata terus terjatuh di pelupuk mata Speranza
“….Speranza” Vuoto
menyebutkan namanya
“Aku hanya ingin hidup
bahagia… Aku hanya ingin…aku…” tak bisa menahan lagi air mata terus keluar
sehingga membuatnya sesak dan sulit mengeluarkan kata – kata
“……” Ardo hanya terdiam
karena ia juga merasakan hal yang sama
Kenapa mereka berdua harus
melewati kehidupan yang pahit. Kenapa mereka memiliki hubungan ‘masalah’ yang
berkaitan akan keluarga mereka. Kenapa … mereka harus di pertemukan sehingga
membuat keduanya jatuh cinta pada pandangan pertama.
“….ini tidak adil” Ardo
menjatuhkan pistol yang sedari ia sodorkan
“….hiks…hiks….”
Speranza masih nangis dengan sesaknya
“…….aku tidak ingin
bertemu denganmu lagi…” Ardo melangkah pergi “…..maaf…..”
Sosok Ardo pun
menghilang dengan tenggelamnya matahari yang berwarna jingga buram. Vuoto
berjalan mendekati Speranza dan memeluknya dengan lembut.
“Maaf karena saya tidak
dapat mengatakannya.” Vuoto berucap
Speranza hanya bisa
melanjutkan tangisnya yang pahit ini. Ia merasa suatu kebahagiaan yang ia cari
ternyata sepahit ini. Vuoto menyanyikan lagu “Que Sera Sera”. Berharap
kebahagiaan yang sesungguhnya akan segera datang.
***
Beberapa hari kemudian
mereka tidak mendengar ataupun melihat sesosok seorang Ardo sama sekali.
Sepertinya yang waktu itu benar – benar terakhir kalinya mereka bertemu. Speranza
menjalani hari – harinya yang seperti biasa. Vuoto pun juga sama, ia selalu
mengikuti kemana pun Speranza pergi.
“Saya akan membeli buah
untuk anda” Vuoto berucap
Speranza menarik tangan
kanan Vuoto sebelum ia benar – benar pergi.
“Ada apa ?” Vuoto
bertanya
“Jangan pergi” Speranza
memohon
“…baiklah” Vuoto
kembali tersenyum
Vuoto duduk di samping
Speranza.
“Terima kasih sudah
bersama denganku selama bertahun – tahun. Padahal aku sudah tau kalau kau
sangat setia padaku tetapi aku berpura – pura tidak tau” Speranza berekspresi
menyesal
“Tenang saja, saya akan
selalu berada di sisi anda”
Speranza tersenyum
“M-mengenai kertas itu…
Aku akan mempertimbangkan nya mulai sekarang” ucap malu Speranza
“Benarkah ? Terima
kasih banyak” Vuoto memeluk Speranza bahagia
Mungkin sedikit demi
sedikit Speranza bisa melupakan kenangannya dulu. Dan juga sedikit demi sedikit
bisa menerima keberadaan Vuoto disisinya. Lalu ia juga akan memikirkan kertas
yang berisi kontrak pernikahan dengan Vuoto. Sampai jumpa, Ardo.
***
Author Note : Ja-jang~
Projek ini selesai juga~ Setelah sekian lama sibuk dengan sekolah bisa selesai
juga story ini. Padahal kepikirannya ini bakal lama selesainya. Tapi entah
kenapa ini terlalu short dan adegan “first sight love” nya berlalu dengan
cepat. Pengennya bikin sadis bangeeett !! Tapi ada batasnya juga kalau ingin
membuat cerita sadis (‘_’) Sedihnya~ Awal rencana sih pengen bikin si Vuoto
ngebunuh si Ardo tapi gak jadi takut endingnya jadi dark gitu deh. Untunglah
Vuoto masih punya hati lol. Pokoknya terima kasih bagi yang sudah mampir.
Tunggu Next Project nya ya~~~ Jaa~~ (^w^)/