Selasa, Maret 24, 2015

The Happinest & The Sadness

The Happinest & The Sadness

Bulan sabit terlihat indah seperti biasa. Suara angin yang terdengar merdu telah melambaikan rambut panjang seorang gadis yang sedang berdiri di sebuah bangunan kosong yang gelap. Dari kejauhan ada seseorang yang memperhatikannya, tetapi gadis itu tidak tau. Sang gadis berdengung menyanyikan lagu kesukaannya, “Que Sera Sera”. Lagu yang sudah amat lama itu di ingat jelas sekali oleh sang gadis. Entah apa yang membuatnya menyukai lagu itu. Tiba – tiba sang gadis mengeluarkan air matanya, seseorang yang melihatnya dari kejauhan terkejut tapi ia masih bersembunyi.

“Sampai jumpa, duniaku”

Sang gadis membiarkan tubuhnya terjatuh bebas, di saat yang bersamaan orang yang memperhatikan gadis itu dari kejauhan mulai berlari, loncat dan menggapai sang gadis.

***

Terasa kembali angin yang sangat sejuk. Perlahan – lahan angin itu membuat sang gadis terbangun dari lelapnya. Ia melihat sekeliling, jendela, kasur, meja, hordeng, dan bunga. Semua yang ia lihat berwarna putih bersih, butuh waktu sedikit lama untuk menyadari bahwa ia sedang berada di dalam rumah sakit. Sang gadis mengeratkan kedua tangannya seraya memegang selimut kasurnya.

“Kenapa aku masih hidup ?”

Ia merasa kesal, benci, dan amarahnya keluar. Rasa sakit yang ada di kepalanya mulai terasa sehingga membuatnya tidak berdaya. Rasanya benar – benar tidak enak, pasti, pasti ada yang telah menggagalkan rencananya. Ia tau siapa, ia tau siapa yang menolongnya, tidak lain dan tidak bukan pasti dia. Dia adalah laki – laki yang sang gadis benci seumur hidup bahkan sampai mati maupun sudah memasuki dunia neraka atapun surga.

“Anda sudah sadar ?”

Tak lama setelah sang gadis memikirkan laki – laki itu, ia pun datang sambil membawa semangkuk bubur, berbagai macam obat dan juga air putih. Sang gadis menatapnya tidak percaya, ia berpikir lebih baik sekarang ia meracuni dirinya sendiri dari pada bertemu lelaki ini.

“Speranza”

Nama sang gadis yang akhirnya kita ketahui ‘Speranza’ telah menoleh ke arah asal suara. Tatapannya sinis, marah, kesal yang ia rasakan begitu mendengar namanya di sebut olehnya.

“Pergi kau, Vuoto”

Lelaki bernama ‘Vuoto’ itu terkejut karena namanya telah di sebutkan oleh gadis idamannya. Senyum pun tersimpul, ia mendekat ke arah Speranza langkah demi langkah. Speranza merasa takut tetapi yang ia rasakan sampai sekarang adalah dendam murninya pada Vuoto. Dendam yang tidak akan pernah pudar dengan mudah. Vuoto meletakkan apa yang tadi ia bawa ke atas meja yang berada di samping Speranza. Tak lama ia duduk di kursi yang ada di samping Speranza sambil terus menatapnya. Matanya tak lepas dari Speranza dan Speranza pun juga begitu, ia menatap Vuoto, tatapan yang penuh kebencian.

“Saya tegaskan satu hal”

Vuoto mengeluarkan selembar kertas yang berada dalam tas kecil yang selalu ia kenakan selama 5 tahun penuh. Tas itu ia kenakan hanya untuk menyimpan kertas selembaran yang tak ada arti dan tak ada guna bagi Speranza.

“Aku menolak !! Aku tidak mau !!! Aku tidak setuju !!!! Dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau !!!!!” Speranza berteriak sambil merobek dan membuang kertas itu keluar jendela

Vuoto tidak berekspresi sama sekali, ia mengeluarkan kembali kertas yang sama. Ternyata ia menyimpan cadangan yang sangat banyak. Speranza tidak sanggup, ia pun mengeluarkan air mata berharap suatu saat nanti, suatu hari nanti akan ada yang menolongnya dan melepaskan siksaan yang selalu menghantuinya ini.

***

Setelah 2 minggu berada di rumah sakit, Speranza menghirup udara dari dunia yang ia benci ini. Sebenarnya ia tidak akan membenci dunia ini, hanya saja Vuoto berada di dalamnya maka ia pun akan membencinya. Di mana pun itu, jika ada Vuoto maka Speranza akan membencinya, apapun itu. Speranza berjalan entah kemana, di belakangnya Vuoto mengikuti.

*FLASH BACK*

Vuoto merupakan laki – laki yang sangat dekat dengan Speranza, dulu sekali Speranza sangat menyayangi Vuoto layaknya saudaranya sendiri. Waktu itu Speranza berumur 13 tahun, dia merupakan gadis yang lugu dan memiliki karakter yang ada pada gadis kebanyakan. Lalu Vuoto berumur 15 tahun, ia selalu menemani Speranza kemana pun gadis itu pergi. Vuoto tinggal dalam keluarga Speranza karena ayahnya Speranza bertemu dengan Vuoto yang sedang terjebak dalam aksi perkelahian antar daerah kekuasaan.

Zaman dahulu, berkelahi merupakan hal yang wajar. Kekuasaan, uang, martabat, semua hal seperti itu harus di miliki setiap orang jika ingin bertahan hidup. Jika tidak mereka akan di telantarkan dan hanya akan mati dalam kesengsaraan yang fatal. Tidak dapat merasakan kebahagiaan dan hanya bisa mengemis di mana pun tempat itu. Ayah Speranza merasa bahwa Vuoto dapat melindungi putri kesayangannya jika sesuatu menimpa dirinya.

Tak lama, Vuoto resmi menjadi pelindung Speranza. Speranza senang sekali menerima anggota baru di keluarganya itu. Di bandingkan pelindung ia lebih beranggapan bahwa Vuoto adalah kakak laki – lakinya. Speranza sangat menyayanginya, Vuoto pun demikian bedanya lelaki itu menyayanginya lebih istimewa dan lebih ke arah yang berbahaya. Mengenai ibunya Speranza, ibunya telah meninggal begitu melahirkannya. Speranza merasa sedih tetapi ia masih harus melanjutkan hidup demi ibunya.

Setelah Speranza berumur 15 tahun, ayahnya meninggal dunia karena penyakit yang tidak bisa di sembuhkan. Jujur, Speranza menangis sangat kencang sekali, ayah yang sangat ia sayangi meninggal di saat Speranza hanya menjadi seorang gadis remaja yang belum tau seperti apa kejamnya dunia luar. Karena selama ini ia selalu di lindungi atas perintah ayahnya. Speranza tidak memiliki kerabat maupun saudara lain, ia merasa goyah dan tambah tidak kuat begitu mengetahui bahwa ia tak sanggup membayar dana rumah, tempat tinggalnya.

Dengan berat hati Speranza keluar dari rumahnya itu, badannya begitu merinding dan ketakutan, ia tidak tau lagi harus bagaimana. Kehidupan nya hancur dengan mudah setelah tiadanya sang ayah. Tapi, ia ingat Vuoto bersama dengannya, selalu. Ketika Speranza telah menemukan rumah baru yang kumuh dan kotor ia sadar bahwa Vuoto jarang sekali terlihat di dalam rumah. Sudah sekitar 2 bulan semenjak kejadian jatuhnya keluarga Speranza. Speranza khawatir dan dia berfikir bahwa ada yang tidak beres. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi mencari keberadaan Vuoto.

Ia mencari dari satu tempat ke tempat yang lain. Hasilnya nihil, ia tak mendapatkan petunjuk sama sekali. Sampai suatu ketika ia bertemu dengan lelaki paruh baya yang sedang membawa kapak.

“Sedang mencari siapa gadis kecil ?”

“Apa… kau kenal orang ini ?” Speranza memperlihatkan gambar Vuoto

“Tentu saja, dia berada di sana” sambil menunjuk ke arah puncak gunung

“Te..terima kasih”

Speranza melanjutkan langkah nya itu sambil berharap Vuoto ada di sana. Sejujurnya ia juga ketakutan karena baru setengah jalan saja tempat nya lumayan gelap. Padahal hari masih siang dan panas, ternyata hutan di gunung itu lebat juga. Tapi, Speranza tidak berhenti dan terus melangkah.

BRAKK

Speranza terjatuh oleh akar pohon yang tebal membuat lutut kakinya terluka dan mengeluarkan sedikit darah. Ugh, Speranza tetap berjalan menahan sakit yang ia rasakan demi Vuoto (Author : Kau baik sekali nakk). Sesampainya di puncak, Speranza melihat suatu bangunan yang terlihat seperti benteng pertahanan. Di depan pintu gerbang terlihat dua orang prajurit yang perutnya telah di lukai oleh benda yang tajam. Darah berlumuran di mana – mana, Speranza merasa syok, ia takut, ya, takut sekali, kakinya gemetar, bibirnya membiru, matanya terbelalak, tangannya perlahan membuka pintu dengan pelan.

KREKK

Suara pintu yang di buka terdengar dan suaranya di pantulkan kembali dalam ruangan itu. Speranza berjalan, ruangan itu gelap gulita, untungnya Speranza membawa obor yang ada di pintu gerbang utama.

“Vu…o..to…..kau…dimana…?”

Suara Speranza gemetar, ia melihat ada cahaya dari kejauhan. Speranza terlihat senang tapi ia juga harus waspada, bagaimana jika itu adalah musuh ? pikirnya. Satu.. dua… lima.. langkah ia mendengar suara yang tidak asing.

“Vuo- !”

Belum selesai ia mengucapkan nama “Vuoto” gadis itu menyaksikan suatu tragedy yang sangat besar. Ia melihat seorang pria telah kehilangan lengan kirinya mati terpuruk, ia juga melihat seseorang mati dengan kapak yang menancap di leher, lalu terakhir ia melihat Vuoto sedang membidik senjatanya ke arah orang yang mungkin akan menjadi korban selanjutnya.

“…k-kami juga tidak tau. Itu perintah ! Kami harus meracuni tuan Jet’dai !”

‘Jet’dai’ merupakan nama ayah dari Speranza. Nama yang sangat di hormati oleh banyak sekali rakyat jelata. Speranza sangat yakin bahwa ayahnya meninggal karena penyakit yang tidak bisa di sembuhkan. Tetapi, mendengar kata racun ia menjadi tidak yakin.

“Ohh… Jadi hanya karena ‘perintah’ kalian harus melakukannya ?” mata Vuoto terlihat kosong, ia siap menembak kapan saja

“Tunggu !! Tunggu !!! Itu perin-“

DORR

Satu tembakan telah melukai kaki kiri pria tersebut, Speranza hampir saja berteriak dengan kencang, kedua tangannya kini sedang menutup erat mulutnya.

“Ya, saya tau itu perintah. Maka saya akan membunuh anda berdasarkan ‘perintah’ juga”

DORR DORR DORR DORR

Tembakan kedua mengenai kaki kanan, tembakan ketiga dan ke empat mengenai tangan kiri dan kanan sang pria. Pria tersebut memohon ampun tetapi Vuoto tak mendengarkan.

“Selanjutnya… Bagian mana ya… Apakah anda ingin saya menembak tepat di usus anda ? Lambung ? Jantung ? Atau… Anda ingin saya melubangi tempurung kepala anda ?” Vuoto berkata sambil tersenyum yang sangat menyeramkan

“Tidak…. Ku mohon..Henti-“

DORR

Tembakan terakhir tepat melubangi kepala sang pria.

BRUKK

Suara tubuh yang terjatuh itu terdengar, Speranza semakin ketakutan, takut yang sangat dahsyat. Dia harus pergi dari tempat itu, SEGERA ! Tapi, kakinya tak mampu mendukung tubuhnya untuk berdiri. Tangannya juga tidak dapat di gerakan, bagaimana ini ? bagaimana ini ??

“Spe..ranza..?”

“AH!”

Speranza takut, ia sangat takut, mendengar suara itu ia pun berlari kencang mencoba untuk keluar dari benteng secepat mungkin. Begitu ia berhasil keluar ternyata ia tidak dapat lolos, Vuoto berlari jauh lebih kencang dan berhasil menangkap Speranza. Vuoto merasakannya, tubuh Speranza gemetar hebat sekali, nafasnya tak teratur, tubuhnya kian mendingin.

“Apakah anda melihat semuanya ?”

Speranza hanya terdiam, berharap kejadian itu semuanya hanyalah mimpi. Ia tak sanggup hidup seperti ini. Ia tak sanggup melakukannya, ia tau kalau kenyataannya ayahnya terbunuh dengan racun tapi, Speranza tidak pernah berikir akan balas dendam dan pembunuhan seperti itu. Itu sangat berat baginya, ia hanya merasa sedih dan sangat kesepian.

“Kenapa….Kenapa kau melakukan itu…?” suaranya kembali gemetar

“Karena mereka lah yang mengacaukan hidup kita”

“Kau salah… Kau salah... Aku tidak mau seperti ini”

Speranza menebas genggaman Vuoto dan berlari sejauh mungkin. Bangunan nya bagaikan lorong yang dalam, belok ke kiri, kiri, kanan, kiri, kanan. Begitu terlihat pintu keluar Speranza berlari lebih kencang lagi, akhirnya dia keluar dari bangunan yang terkutuk itu. Sayangnya begitu ia ingin turun dari gunung tersebut Speranza melangkah di jalan yang salah, ia terjatuh ke dalam lubang yang begitu dalam.

***

*FLASHBACK OFF*

“Apa rencana anda hari ini, Speranza ?”

Vuoto meletakkan secangkir teh latte di depan meja tempat Speranza duduk. Speranza mengerutkan keningnya, kesal, ia tidak mau melihat pria ini lebih lama lagi. Tapi, Speranza juga tidak berani meninggalkan Vuoto sendiri, karena hal berbahaya pasti akan di lakukannya. Yah, Speranza pun juga pasti akan melakukan hal gila. Ingat kejadian terjun bebas yang di lakukan Speranza beberapa hari yang lalu ?

“……”

Tak menghiraukan perkataan Vuoto, Speranza berdiri dan melangkah menuju suatu tempat. Vuoto mengikuti dari belakang, gadis ini tau kalau Vuoto akan mengikuti kemana pun Speranza pergi layaknya hewan peliharaan. Speranza sudah tidak mau menggubris masalah itu. Karena Speranza sendiri merasa ia memerlukan Vuoto untuk melindunginya. Walaupun di lindungi dengan cara yang salah.

Ternyata Speranza mendatangi tempat yang dulu di kenalnya sebagai ‘rumah’. Tempat itu kini telah menjadi lahan yang kosong untuk di jadikan sebagai pabrik perabotan rumah. Di dalam dada Speranza terdapat rasa yang sangat menyesakan, kenangan – kenangan tentang keluarganya kembali seketika. Rasa pedih itu terasa kembali, sehingga membuatnya menitikan air mata, satu tetes air mata berhasil jatuh dari mata kanannya. Bagaimana tidak ? Bukankah mengingat kenangan keluarga yang telah tiada itu sangat menyakitkan ?

“Ayah…”

Ucapan pertama yang di katakan Speranza bergitu ia menghapus air matanya. Ia tau kalau ayahnya tidak akan bisa kembali ke bumi ini lagi, bahkan ke dunia ini. Ayahnya telah berada entah dimana, yang Speranza tau tempat itu adalah Surga, tempat dimana orang yang meninggal beristirahat dengan tenang. Tapi, ia tau kalau ayahnya itu pasti merasa tenang karena tidak perlu mengkhawatirkan tentang kejamnya dunia ini. Ah, mengingat tentang hal itu Speranza mulai menatap Vuoto yang tengah mengikutinya dari tadi.

“Kau itu tidak perlu mengikutiku” kesal Speranza

“Itu sudah kewajiban saya untuk mengikuti anda kemana pun anda pergi”

Lagi – lagi sikap ke “pelayanan” nya muncul lagi. Padahal Speranza sama sekali tidak suka sikapnya yang seperti itu. Speranza juga sangat membenci cowok yang satu ini. Karena cowok ini sudah terlalu banyak membunuh orang – orang yang ada hubungannya dengan kematian ayah Speranza. Speranza tau, dia juga sebenarnya menyimpan dendam, bedanya ia tidak pernah mau berpikiran akan dendam untuk membunuh. Tidak sama sekali.

Setelah menghela nafas Speranza melanjutkan langkah nya ke suatu tempat. Entah ia mau kemana satu hal yang pasti ia ingin berjalan sejauh mungkin sampai Vuoto tidak mengikutinya. Speranza tau hal itu akan sangat lah sia – sia. Mengetahui kalau tipe Vuoto merupakan orang yang keras kepala pastilah dia tidak akan berhenti mengikuti Speranza. Hal itulah yang membuat Speranza menjadi tidak bisa berbuat apa – apa. Walaupun sekarang ia sudah berumur 22 tahun.

Speranza sibuk memikirkan sesuatu yang ada dalam pikiranya, begitu ia sadar ternyata Vuoto tidak ada bersama dengannya. Sungguh suatu kebetulan yang luar biasa. Speranza pun berlari sejauh mungkin, gadis yang beranjak dewasa ini tidak memperdulikan tempat tinggalnya yang kumuh itu. Pokoknya ia berpikir harus pergi sejauh mungkin. Sungguh, rasa benci Speranza terhadap Vuoto sangatlah tinggi.

***

“Haahh…Haaahh….” Speranza mulai lelah karena terus menerus berjalan

Speranza tidak tau ia berada di mana sekarang, ia hanya melihat tanah yang gersang di sebelah kanan dan kirinya. Ia berpikir sepertinya ia berada di padang pasir (author : bukan padang pasir oi). Speranza menyerah untuk melangkah lagi, ia terduduk di tengah – tengah jalan, berharap Vuoto datang menolongnya. Tunggu. Speranza tidak berniat berpikir seperti itu. Kedua tangannya menepuk pipinya agar membuatnya semangat kembali.

“Tidak… Tidak… Tidak… Pokoknya aku harus berusaha sendiri. Aku akan menemukan cara agar tidak bersama dengan lelaki penyakitan itu”

Sambil berkata seperti itu tiba – tiba

“Apa yang kau maksud dengan ‘lelaki penyakitan’ ?”

“HUWA !”

Speranza terkejut mendengar perkataan itu, ia berpikir pasti itu adalah Vuoto. Ternyata dugaannya salah. Ia melihat seorang lelaki dengan tubuh yang bisa di bilang tidak terlalu tinggi tetapi masih lebih tinggi dia daripada Speranza, ia menampakan wajah polos yang di penuhi dengan kalimat tanya begitu melihat Speranza terduduk di tengah – tengah jalan. Awalnya Speranza merasa terpaku memandang lelaki itu dan mulai merasa malu. Pasti ia berpikir kalau Speranza seperti orang gila (author : yang sabar yak).

“Maaf, apa aku mengagetkanmu ?” lelaki itu bertanya sambil mengulurkan tangannya

“Ah ! Enggak kok ! Enggak !” Speranza berdiri tanpa menerima ulurannya menahan malu

“Bagus lah, jadi … apa yang kau lakukan di tengah – tengah jalan seperti itu ?”

“Oh… Itu… Aku tersesat, seperti nya aku … Mungkin telah berjalan lebih dari 2 atau 3 jam”

“Benarkah ? Itu hebat ! Di tambah lagi kau jalan sendirian”

“Aha..ha… Begitulah” Speranza menutupi kenyataan kalau dia sedang menjauhi Vuoto

“Ngomong – ngomong rumahku tidak jauh dari sini. Apa kau ingin mampir ?” ajaknya

“Terima kasih banyak ! Itu sangat membantuku sekali” Speranza tampak senang

Mereka berdua pun berjalan bersama, Speranza merasa terlalu senang dan berpikir ia menyukai lelaki ini.

“Namaku Speranza, kalau kau ?”

Terdiam sejenak, lelaki itu seperti sedang berpikir. Tak lama akhirnya ia mebuka mulutnya.

“O-oh, namaku ? Namaku Ardo” jawabnya

“Ardo ? Hm… Salam kenal, Ardo” Speranza tersenyum sembari senang mendapat teman baru

“Ya, salam kenal, Speranza” Ardo pun membalas senyumnya

Betapa senangnya Speranza melihat Ardo tersenyum. Entahlah, mungkin ia akan mengalami perasaan baru.

***

“Ahhh… Aku terselamatkan” lega Speranza selesai meminum secangkir teh yang di sediakan oleh Ardo

“Haha.. Ternyata kau benar – benar tidak tau jalan ya ?” Ardo tertawa

“Iya, mungkin aku tersesat” jawab Speranza sambil menjulurkan lidahnya

“Kenapa kau sampai harus berjalan sejauh itu ?” Ardo bertanya

“………ung.. karena aku ingin berpetualang !” bohongnya

“Ternyata begitu, kau hebat” Ardo memuji

“Ah, tidak juga” Speranza tersipu malu

Sambil berbincang – bincang tak terasa hari sudah malam. Speranza merasa tidak tau harus kemana lagi karena dia memang tidak tau apa – apa tentang dunia luar. Begitulah gadis bangsawan ini menghabiskan waktu hanya berada di dalam rumah dan sekitarnya.

“Kau mau menginap di sini ?” Ardo menawarkan

“B-bolehkah ?”

“Tentu saja, di daerah sini kalau perempuan berjalan sendirian di malam hari pasti mereka akan di culik, di jual ke tempat yang jauh” Ardo menjelaskan

“Kejamnya…”

“Yah, itulah kehidupan”

“Oh ! Terima kasih telah mengizinkanku tinggal di rumah mu”

“Tidak apa – apa”

Di malam itu juga Speranza berada di kamar yang lumayan luas. Di dalam kamar itu terdapat tempat tidur, lemari yang besar, berbagai macam bunga yang tergantung, jendela, meja dan kursi. Semua tertata rapih dan enak di pandang, apalagi cahaya rembulan yang masuk lewat jendela.

“Selamat malam” ucap Ardo

“Selamat malam, Ardo”

BLAM

Pintu kamar telah tertutup, Speranza sendirian di dalam kamar itu. Uwah, entah mengapa rasanya seperti di rumahnya yang dulu. Bedanya dalam kamar ini banyak sekali bunganya. Speranza menggeletakan tubuhnya di atas kasur yang empuk itu. Ia tersenyum – senyum sendiri karena rasa senangnya yang sangat besar. Ia tidak menyangka akan ditolong oleh seorang lelaki yang baik seperti Ardo ini. Speranza tidak merasa perlu untuk waspada, di mata Ardo tidak terlihat akan adanya perlakuan jahat padanya. Tapi siapa sangka ?

***

Ke esokan harinya, Ardo telah berdiri di ruang makan. Menyiapkan sepotong roti dengan selai coklat di dalamnya. Begitu Speranza melangkah mendekat, mata Ardo langsung melirik ke arah Speranza dan tersenyum.

“Selamat pagi”

“P-pagi”

Bagi Speranza sudah lama sekali ia tidak di sapa ‘selamat pagi’ seperti itu. Karena semenjak keluarga nya kacau balau ia jadi suka berpindah – pindah ke penginapan lain. Tanpa perlu menyapa orang lain.

“Ayo duduk, makanlah roti ini” Ardo menyodorkan sepotong roti untuk Speranza

“Terima..kasih..” Speranza tertunduk malu

“Sebelum itu, ada yang sedang menunggu mu tuh di luar” ucap Ardo

“Menunggu ku ?” Speranza kebingungan

Setelah Speranza melangkah keluar terlihat Vuoto sedang memainkan pisau yang selalu ia bawa. Tidak. Pikir Speranza. Ia tidak pernah berharap untuk melihat orang itu lagi. Dia tidak ingin melihat seseorang yang telah merusak hari damainya. Dengan kata lain ia ingin cowok itu lenyap dan tak pernah kembali lagi. Sampai kapanpun.

“Apa yang kau lakukan di sini ?” Speranza merasa kesal

“Tentu saja menjemput Anda” jawab Vuoto cepat

“Aku tidak mau, lagi pula yang menentukan kehidupanku adalah aku sendiri !” bentak Speranza

“Sudah..Tak perlu meributkannya di pagi yang cerah ini. Bagaimana kalau kita sarapan terlebih dahulu” Ardo tiba – tiba muncul

Speranza hanya terdiam dan menuruti perkataan Ardo, di sisi lain Vuoto merasa kesal karena dirinya di atur oleh laki – laki yang sudah merebut Speranza darinya. Pisau pun di keluarkan dari saku Vuoto, Speranza pun mengetahui hal itu.

“A-apa yang kau lakukan ?!! Apa kau gila ?” Speranza membentak setengah berbisik ke arah Vuoto

“Saya tidak suka dengan lelaki itu” jawab Vuoto spontan

“Jika kau melakukan sesuatu padanya, maka aku akan membencimu sampai mati” ancam Speranza

Vuoto pun tercengang dan segera ia kembalikan pisau itu ke dalam saku. Speranza menatap nya tajam, karena Speranza telah di tolong oleh Ardo makanya ia tidak suka jika ada hal yang terjadi pada lelaki yang menyelamatkannya itu. Speranza sudah tidak perduli lagi dengan Vuoto. Dia menganggap Vuoto tidak ada, dan akan terus seperti itu sampai Vuoto pergi jauh – jauh dari kehidupannya. Hanya saja sayangnya hal tersebut tidak memungkinkan.

Mereka berdua masuk kedalam rumah Ardo, ia telah menyiapkan sarapan berupa sup krim dan juga buah – buahan. Speranza yang sejak tadi merasa lapar karena marah terus kepada Vuoto, bergegas menuju tempat duduk sambil menunggu yang lain ikut makan.

“Sup krim !!” senang Speranza

“Silahkan duduk, Vuoto” tawar Ardo

Dalam hati yang paling dalam Vuoto benar – benar membenci sekali pria ini. Ia terus menahan rasa itu karena ia berada di dekat gadis yang sangat ia sayangi. Wajah serius Vuoto pun memudar dan ia ikut duduk dan makan bersama. Lelaki ini hanya memikirkan gadis yang sedang makan di sampingnya. Wajah dengan ukiran senyum yang manis, Speranza. Vuoto merasa nyaman di dekat gadis itu. Ya, rasanya jauh lebih baik dari pada melakukan tindakan dosa yang ia perbuat dulu.

“Lezat sekali, kau memang pintar sekali memasak Ardo”

Baru saja Vuoto berpikir menyenangkan tentang Speranza, tetapi begitu ia mendengar sang gadis berkata seperti itu keningnya kembali mengerut merasa tidak adil. Ia merasa bahwa Vuoto dapat memasak jauh lebih baik dari pria itu.

“Haha, tidak tidak.. Itu tidak benar. Aku sudah biasa hidup sendiri semenjak ibuku meninggal” Ardo berbalas

Speranza menunduk merasa tidak enak terhadap Ardo.

“Kenapa kau murung begitu ? Manusia pun pasti akan meninggal suatu saat nanti, berlaku padaku juga” Ardo tersenyum samar

“A-…A !!” Speranza berteriak

“Ada apa ?” Vuoto khawatir

“A-ardo, bagaimana kalau kau mengajak ku jalan – jalan ? Bukankah kau bilang waktu itu kau bisa menemaniku melihat – lihat daerah sekitar sini ?” Speranza menjelaskan

“Yah, aku tidak keberatan” sambung Ardo

“Kh !!” Vuoto merasa kesal

Speranza merasa senang, tetapi di saat yang sama ia juga merasa sedih. Ia berpikir ternyata Ardo juga tinggal sendirian tanpa adanya orang tua yang menemani. Gadis ini berpikir bahwa mereka memiliki kemiripan, kemiripan yang menyedihkan dan menyakitkan sehingga membuat keduanya tinggal sendirian. Tapi, Speranza memiliki Vuoto di sisinya. Ah, tidak, gadis ini tidak berpikir bahwa Vuoto merupakan salah satu keluarganya melainkan orang asing.

Setelah mereka menyiapkan peralatan yang ingin di bawa, mereka pun langsung berjalan meninggalkan rumah Ardo yang sudah di kunci rapih. Dalam perjalanan sambil berjalan kaki lagi – lagi Speranza melihat Vuoto memainkan pisau nya. Langkah Speranza pun memelan dan tepat berada di samping Vuoto sekarang.

“Ada apa ?” Vuoto bertanya sambil tersenyum

“Jika kau berani melukainya… Kau tau kan apa akibatnya ?” Speranza menatap sinis

“Ya, tenang saja” Vuoto semakin tersenyum lebar

Speranza menghembuskan nafas kecil. Apapun yang terjadi jangan sampai Vuoto melakukan sesuatu pada Ardo, lelaki yang telah menyelamatkannya itu.

Tak lama suatu desa kecil terlihat, nama desa itu adalah Mese. Mungkin karena bisa melihat bulan dengan jelas jadinya tempat itu di namakan ‘Mese’. Mese merupakan desa yang kecil walaupun begitu halaman nya termasuk luas. Warga yang ada di dalamnya pun ramah atau mungkin tidak, karena Speranza hanya tau tempat itu sewaktu ia masih kecil, bersama dengan ayah yang ia sayangi, dulu.

“Whoaahh… Besarr !! Ramai !!” Speranza takjub

“Haha” Ardo tertawa

“Ardo ! Ardo !! Ayo kita ke sana !!!” Speranza mulai ke asikkan

“Baik.. baik..” Ardo mengikuti

Vuoto hanya memperhatikan mereka berdua dari kejauhan. Ia merasa sakit sekali melihat Speranza bersama dengan Ardo. Walaupun begitu sumpah yang pernah ia katakan kepada ayah Speranza agar tidak lepas dari gadis itu, tidak akan pernah pudar. Oleh karena itu Vuoto selalu dan selalu mengawasinya meskipun sang gadis tidak sadar sedikit pun.

Terlihat ada balon warna – warni banyak sekali, Speranza melihat ada warna balon berwarna hitam. Ia pun tertarik dan ingin membeli balon itu, tetapi

“Jangan !” mendadak Vuoto menarik tangan Speranza

“?! Apa yang kau lakukan ?” Speranza kesal

DUAKK

Balon tersebut pun pecah dan mereka berdua terkejut mendengar ledakan yang kecil itu. Karena mereka di sangka yang telah meledakannya maka mereka harus membayarnya. Untung ada Ardo, dia bersedia membayar balon hitam yang sudah pecah itu.

“Kau tidak apa – apa Speranza ?” Ardo bertanya

“Tidak apa…” raut wajah Speranza senang kembali

Entah apa yang membuat Vuoto lancang menarik tangan Speranza. Tetapi gadis ini tau bahwa balon tersebut ada kaitannya dengan apa yang terjadi sewaktu Speranza masih kecil. Kenangan bersama dengan ayahnya yang tiada. Itulah kenapa Vuoto lancang melakukannya.

“Aku mau ke sana !” Speranza menunjuk ke arah tempat yang banyak orang berjualan makanan

“Oke oke” Ardo pun mengikuti

Vuoto memperhatikan, ia erat memegang bajunya, dadanya sakit, berharap bahwa ini semua hanya mimpi. Sayangnya ini adalah dunia nyata dan juga bagi gadis yang ia sukai itu, Ardo merupakan lelaki pertama yang ia sukai, menurut pandangan Vuoto. Entah apa yang membuat Vuoto berpikiran seperti itu. Pokoknya Vuoto ingin sekali kembali ke masa – masa di mana ia hanya berdua saja dengan Speranza. Bersama.

Malangnya Vuoto, sejak 2 jam yang sudah ia lewatkan, ia sendirian, duduk, dan hanya memperhatikan. Speranza sedang tertawa bersama dengan Ardo. Vuoto hanya memperhatikan dan akhirnya sudah tidak sanggup, ia pun melangkah mendekati Speranza.

“Hey, bolehkah saya ikutan ?” Vuoto ragu mengatakannya

“Tentu saja” Ardo menjawab

Jujur saja, Vuoto merasa jengkel mendengar bahwa kalimat itu di ucapkan oleh orang yang ia benci, bukan gadis yang ia sukai. Di sisi lain Speranza malah merasa jengkel dengan Vuoto yang tiba – tiba datang dan ingin ikut bergabung.

“Ardo ! Aku…Aku…TERIMA KASIH BANYAK !” Speranza berucap sambil sedikit membungkukan kepala

“Untuk apa ?” Ardo terbingung

“Padahal kita baru beberapa hari bertemu.. Tetapi, kau sudah banyak sekali membantuku. Memberiku banyak sekali berbagai macam kesenangan.”

“Haha, tidak apa.. Hidup itu hanya sekali… Kau harus bisa merasakan berbagai macam kebahagiaan” Ardo mulai menutup kedua matanya seakan mengingat suatu kejadian

“Ardo, kau tak apa ?” Speranza terlihat khawatir

“Tenang saja… Aku tidak apa – apa” Ardo mulai membuka matanya dan melangkah pergi

Hari yang tadinya cerah telah di datangi oleh air yang turun dari langit, membuat mereka bertiga terjebak dalam tetesan air hujan yang semakin lama semakin deras. Speranza merasa gugup karena ia merasa ada kata – kata yang salah dalam berbicara kepada Ardo barusan. Vuoto melihat gerak – gerik Speranza, ia tau bahwa gadis ini merasa gelisah dan ia tau kalau gadis ini ingin meminta maaf jika ia telah melakukan hal kesalahan pada lelaki itu.

“Speranza…” suara Ardo tiba – tiba terdengar setelah senyap sesaat

“Y-ya ?”

“Maaf dan juga terima kasih, aku harus pergi” ucap Ardo

“Ah ! Ardo !!”

Ardo pun langsung berlari di hantam oleh derasnya hujan yang kian membesar. Speranza hanya bisa mengambangkan tangannya untuk meraih Ardo. Sayangnya tangan tersebut hanya menggapai udara dan tak bisa menyentuh orang yang di tuju. Akhirnya ia pun menggenggam tangannya dan menaruhnya tepat di dadanya. Semua akan baik – baik saja pikirnya. Speranza bersiap berlari mengejar Ardo, tetapi tubuhnya di tarik oleh Vuoto.

“Apa yang kau lakukan ?”

“Saya mohon, jangan mengikutinya”

“Kenapa ?? Ini tidak ada hubungannya dengan mu!”

“Saya tidak ingin anda menderita lagi…Saya tidak ingin anda mengetahui kebenarannya…” suara Vuoto kian berbisik

Speranza mendengar ucapan lelaki itu, tetapi ia tidak mengerti apa maksud di balik perkataannya. Seketika tubuh Vuoto mulai gemetar dan ia pun jatuh pingsan di tempat dan membuat Speranza berteriak memanggil namanya.

Tak lama Speranza berhasil membawa Vuoto ke dalam penginapan terdekat. Untung saja ada orang yang membantunya mengangkat tubuh Vuoto. Bagaimana pun juga Speranza adalah anak perempuan, wajar jika tubuhnya tidak bisa mengangkut Vuoto.

Speranza merasa khawatir terhadap Vuoto. Wajahnya kian memerah dan terus memerah Speranza berfikir bahwa Vuoto telah terkena demam tinggi. Bagaimana ini ? Speranza baru pertama kali melihat Vuoto sakit seperti ini, biasanya lelaki ini selalu kuat dan tangguh bahkan sangat jarang sekali mendapat penyakit, sangat jarang.

“Dasar… Vuoto bodoh…” gumam Speranza sambil mengelus pipi Vuoto yang merah

“….terima kasih atas pujian anda” suara kecil Vuoto terdengar

“Vuoto ! Kau sudah bangun ?”

“Ya… Maaf saya telah membuat anda khawatir” sesal Vuoto

“….kalau memang kau beranggapan seperti itu. Jangan sakit.” Kesal Speranza

“Ya, saya sungguh minta maaf”

“Tunggu sebentar, aku akan membuatkan bubur”

Speranza pun bersiap bangun dari tempatnya duduk tapi Vuoto menahannya dengan menarik tangan kanan nya. Vuoto memberikan Speranza sebuah senyuman petanda jangan tinggalkan Vuoto sendiri. Speranza tau akan hal itu, ia pun menghela nafas kecil dan kembali duduk. Tangan kanan nya masih di genggam oleh Vuoto. Speranza tidak berkutik karena kondisi Vuoto saat ini sangat lemah.

“Kau harus tidur” singkat Speranza

“Baik”

Vuoto menutup matanya kembali, lelaki ini benar – benar lemah sekali ketika sedang sakit. Tubuhnya sangat relaks sekali, mungkinkah itu karena Speranza berada di sisinya ? Atau karena Ardo tidak bersama dengan mereka ? Speranza mulai kelelahan dan akhirnya tertidur di pinggir tempat tidur Ardo.

***

Ke esokkan harinya Speranza terbangun oleh suara berisik seperti ada seseorang yang sedang memasak sesuatu. Wangi nya pun tercium sangat lezat tubuhnya otomatis mendekati asal suara dan wangi itu. Tak lama terlihat sosok tak asing, Vuoto sedang memasak sambil mengayunkan wajan nya ke atas dan ke bawah. Mata Speranza membulat bagaimana bisa lelaki ini sembuh total hanya dalam waktu 7 jam ?? Padahal semalam demamnya tinggi sekali.

“Apa yang kau lakukan ? Kau seharusnya beristirahat”

“Mm.. Selamat pagi, saya sedang menyiapkan sarapan”

“Tidak ! Tidak boleh ! Kau belum sembuh total”

“Tenang saja, saya sudah sembuh” Vuoto memamerkan senyum nya yang paling manis

Speranza terdiam dan berjalan duduk di kursi meja makan. Vuoto tetap tersenyum lalu melanjutkan memasak. Beberapa menit kemudian sarapan telah siap di hidangkan membuat Speranza berbinar karena semalam ia belum makan malam.

“Silahkan” Vuoto tersenyum lagi

“Kau juga ikut makan” Speranza menarik Vuoto sehingga ia duduk di kursi tepat di hadapan Speranza

“Tetapi saya-“ tiba – tiba mulut Vuoto ke masukan daging yang telah di potong Speranza tadi

“Enak bukan ? Aku.. tidak ingin sendirian lagi. Jadi kau temani aku makan” Speranza tersenyum tipis

“……baik”

Mereka berdua kembali makan bersama – sama. Setelah bertahun – tahun mengalami berbagai macam cobaan. Baru kali ini mereka berdua bisa makan bersama kembali. Masa – masa dulu dimana Speranza ingin meninggalkan dunia ini perlahan – lahan telah menghilang. Mungkin perempuan ini sudah bisa berpikir jernih ke depannya dan merasa yakin akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

“Kenapa kau bisa mudah sekali terserang penyakit ? Padahal hanya terkena air hujan” Speranza mulai berbicara

“Saya juga tidak tau, biasanya saya terbiasa dengan air hujan” Vuoto menjelaskan

“Aneh sekali”

Selesai sarapan pagi mereka berdua bersiap melanjutkan perjalanan. Bukan melanjutkan perjalanan sih, tepatnya mereka ingin mencari di mana keberadaan Ardo. Mengapa ia meninggalkan mereka berdua, Speranza ingin mengetahuinya. Vuoto sudah melarang Speranza untuk menemui Ardo lagi, tetapi Speranza tidak mau, pada saat Speranza menanyakan alasan mengapa ia tidak boleh bertemu dengan Ardo lagi, Vuoto hanya bisa terdiam saja. Vuoto akhirnya mengalah dan mengikuti Speranza.

Mereka berdua sampai tepat di depan rumah Ardo. Sayangnya rumahnya terkunci dengan rapat dan tidak ada tanda – tanda kehadiran seseorang di dalam rumah itu. Speranza tidak mau menyerah dan memutuskan untuk mendobrak pintu itu. Hebatnya pintu itu terbuka dengan lebar hanya dengan sekali dobrak. Padahal Vuoto belum membantu mendobrak pintu itu. Tetapi nampaknya Speranza seorang diri pun dapat membukanya.

Tak ada. Tak ada siapa pun. Tak ada seorang pun di dalam. Speranza melihat suatu benda yang tertutup kain, padahal waktu ia datang ke rumah ini benda itu tidak ada. Ketika Speranza membuka kain itu, terlihat sebuah lukisan seseorang yang sangat dekat dengannya.

“Ayah…” Speranza bergumam

Mata Vuoto terbelalak lalu membuang muka tanpa berkata apa – apa.

“Apa maksudnya ini ? Apakah… Ardo mengenal ayahku ?” Speranza terbingung

Vuoto mengepalkan kedua tangannya.

“Mungkinkah… Mungkinkah Ardo tau siapa pelaku yang telah membunuh ayah ? Kalau begitu aku harus menemukannya”

Speranza berlari meninggalkan rumah itu sebelum Vuoto sempat berkata apa – apa.

“…gawat…” gumam Vuoto dan berlari mengejar Speranza

Speranza berlari menuju tempat di mana ia bermain dengan Ardo dan Vuoto. Tempat itu ramai sekali bahkan untuk mencari seseorang pun mungkin tak dapat terlihat. Banyak sekali orang berjalan di sekitarnya. Tapi gadis ini tidak menyerah dan terus mencoba mencari orang yang ia tuju.

Di sisi lain Vuoto kebingungan mencari dimana kah Speranza berada. Padahal ia baru saja merasa bisa akrab kembali dengan perempuan kesayangannya itu. Kenapa selalu saja ada saat di mana ia merasa bahagia lalu hilang begitu saja.

“…Ardo !” sekejap mata Speranza menemukan orang yang ia cari

Sayangnya orang itu tidak mendengar teriakan Speranza dan terus berjalan menjauh.

“Tunggu..!...ugh.. Ardo !!” Speranza mulai terseret oleh ramainya tempat itu

Tak lama Speranza berhasil lolos dari keramaian, ia kembali mencari Ardo yang telah berjalan ke arah tepat di depan matanya. Terlihat sebuah laut yang sangat luas sekali. Sesaat Speranza terpukau oleh keindahan laut tersebut. Ia menggelengkan kepala dan kembali mencari Ardo secepat mungkin. Ia telah mencari di sekitar laut tersebut bahkan ia berani bertanya terhadap orang yang belum ia kenal sebelumnya. Sayang sekali tak ada seorang pun yang tau Ardo setelah Speranza menjelaskan secara rinci.

Saat Speranza mulai menyerah dan berjalan di pinggir pantai ia melihat jejak kaki seseorang. Setelah ia mendongak ke atas sosok Ardo pun terlihat.

“Ardo- !”

“Jangan mendekat” ucap Ardo sambil menodongkan sebuah pistol di hadapan Speranza

“Ada apa denganmu Ardo ? Kau jadi aneh seperti itu” Speranza kebingungan

Ardo hanya terdiam tetapi ia masih mengarahkan pistol itu kepada Speranza

“Ardo… Aku hanya ingin menanyakan sesuatu. Apakah kau mengenal ayahku Ardo ?” Speranza mulai gugup

“…..ya, aku mengenalnya” ucap dingin Ardo

“Jadi kau benar – benar mengetahuinya” Speranza terkejut “lalu… apakah kau tau siapa yang telah membunuh ayahku ? Ku dengar… Ayahku telah meminum racun sehingga ia tidak dapat di sembuhkan”

“….tu……..ku….”

“Huh ? Apa yang kau katakana Ardo ?”

“Itu aku” Ardo menegaskan

“Apa maksudmu ?”

“Akulah yang memberinya racun”

Suara angin terdengar begitu pula dengan ombak laut yang telah menghantam batu karang. Speranza masih tidak ingin percaya dengan apa yang ia dengar dan berharap bahwa ia salah dengar.

“Kau….. Bohong bukan ?” Speranza bergetar

“Beberapa tahun yang lalu. Kedua orang tuaku jatuh bangkrut atas usaha mereka. Padahal mereka tidak pernah salah perkiraan dalam bisnis. Tetapi, ayahmu… Ayahmu lah yang telah merusaknya. Ayahmu telah membuat kehidupan keluargaku putus. Ayahmu membuat usaha keluargaku bangkrut total. Ia telah merusaknya. Sehingga, mereka berdua memutuskan untuk bercerai. Aku memutuskan untuk bersama dengan ibuku, tapi tak lama ia meninggal karena kurang beristirahat dan selalu bekerja. Hanya karena keluargamu adalah anggota bangsawan kalian bisa berbuat seenaknya pada rakyat jelata. Menyedihkan sekali”

Ardo menarik pelatuk pistolnya dan siap menembak kapanpun.

“Aku…aku tidak tau sama sekali… Aku tidak tau hal seperti itu…Aku tidak tau….” Speranza ketakutan ia tidak menyangka ayahnya dapat berbuat seperti itu

“Di saat pertama kali kita bertemu aku tidak tau bahwa kau anak dari pria itu. Entah takdir atau nasib yang telah mempertemukan kita. Tak lama aku mengetahuinya, kau adalah anak dari pria itu. Padahal, aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepada anak yang telah merusak hubungan keluargaku” jari telunjuk Ardo bersiap untuk menembak Speranza

“Tidak….aku…..aku tidak tau……” Speranza menangis

Tak lama suara tembakan terdengar Speranza pun menutup kedua matanya. Aneh. Rasanya tidak sakit, ia tidak merasakan apa – apa. Ia membuka kembali kedua matanya dan melihat Vuoto telah memeluknya. Tangan Vuoto berdarah hasil dari tembakan Ardo tadi.

“Vuoto !”

“Anda tidak apa – apa ?” Vuoto bertanya sambil menahan sakit

“Aku.. Tidak apa – apa. Tanganmu berdarah ! Kita harus cepat – cepat menutup lukanya”

“Aku tidak apa – apa… Yang lebih penting. Anda baik – baik saja”

“….Ada pengganggu rupanya” Ardo menarik pelatuknya lagi

“Hentikan !” Speranza melindungi Vuoto yang telah terluka

“Bahaya..! Anda tidak perlu melindu-“

“AKU TIDAK MAU !” Speranza berteriak kencang sekali

Air mata pun menetes dengan derasnya.

“Kenapa…Kenapa hidupku selalu seperti ini…” air mata terus terjatuh di pelupuk mata Speranza

“….Speranza” Vuoto menyebutkan namanya

“Aku hanya ingin hidup bahagia… Aku hanya ingin…aku…” tak bisa menahan lagi air mata terus keluar sehingga membuatnya sesak dan sulit mengeluarkan kata – kata

“……” Ardo hanya terdiam karena ia juga merasakan hal yang sama

Kenapa mereka berdua harus melewati kehidupan yang pahit. Kenapa mereka memiliki hubungan ‘masalah’ yang berkaitan akan keluarga mereka. Kenapa … mereka harus di pertemukan sehingga membuat keduanya jatuh cinta pada pandangan pertama.

“….ini tidak adil” Ardo menjatuhkan pistol yang sedari ia sodorkan

“….hiks…hiks….” Speranza masih nangis dengan sesaknya

“…….aku tidak ingin bertemu denganmu lagi…” Ardo melangkah pergi “…..maaf…..”

Sosok Ardo pun menghilang dengan tenggelamnya matahari yang berwarna jingga buram. Vuoto berjalan mendekati Speranza dan memeluknya dengan lembut.

“Maaf karena saya tidak dapat mengatakannya.” Vuoto berucap

Speranza hanya bisa melanjutkan tangisnya yang pahit ini. Ia merasa suatu kebahagiaan yang ia cari ternyata sepahit ini. Vuoto menyanyikan lagu “Que Sera Sera”. Berharap kebahagiaan yang sesungguhnya akan segera datang.

***

Beberapa hari kemudian mereka tidak mendengar ataupun melihat sesosok seorang Ardo sama sekali. Sepertinya yang waktu itu benar – benar terakhir kalinya mereka bertemu. Speranza menjalani hari – harinya yang seperti biasa. Vuoto pun juga sama, ia selalu mengikuti kemana pun Speranza pergi.

“Saya akan membeli buah untuk anda” Vuoto berucap

Speranza menarik tangan kanan Vuoto sebelum ia benar – benar pergi.

“Ada apa ?” Vuoto bertanya

“Jangan pergi” Speranza memohon

“…baiklah” Vuoto kembali tersenyum

Vuoto duduk di samping Speranza.

“Terima kasih sudah bersama denganku selama bertahun – tahun. Padahal aku sudah tau kalau kau sangat setia padaku tetapi aku berpura – pura tidak tau” Speranza berekspresi menyesal

“Tenang saja, saya akan selalu berada di sisi anda”

Speranza tersenyum

“M-mengenai kertas itu… Aku akan mempertimbangkan nya mulai sekarang” ucap malu Speranza

“Benarkah ? Terima kasih banyak” Vuoto memeluk Speranza bahagia

Mungkin sedikit demi sedikit Speranza bisa melupakan kenangannya dulu. Dan juga sedikit demi sedikit bisa menerima keberadaan Vuoto disisinya. Lalu ia juga akan memikirkan kertas yang berisi kontrak pernikahan dengan Vuoto. Sampai jumpa, Ardo.

***


Author Note : Ja-jang~ Projek ini selesai juga~ Setelah sekian lama sibuk dengan sekolah bisa selesai juga story ini. Padahal kepikirannya ini bakal lama selesainya. Tapi entah kenapa ini terlalu short dan adegan “first sight love” nya berlalu dengan cepat. Pengennya bikin sadis bangeeett !! Tapi ada batasnya juga kalau ingin membuat cerita sadis (‘_’) Sedihnya~ Awal rencana sih pengen bikin si Vuoto ngebunuh si Ardo tapi gak jadi takut endingnya jadi dark gitu deh. Untunglah Vuoto masih punya hati lol. Pokoknya terima kasih bagi yang sudah mampir. Tunggu Next Project nya ya~~~ Jaa~~ (^w^)/